Please activate JavaScript!
Please install Adobe Flash Player, click here for download

Edisi 2 2015

NEWSLETTER JERAT PAPUA Edisi II 2015 Hal. 3 (07/01/2015) lalu. Penahananan dilakukan di sekitar kampung Sentosa KM 55 Distrik Unurumguai, Kabupat- en Jayapura, Papua. Di Biak, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Biak Numfor, hingga 2015 masih kekurangan tenaga teknis ahli lingkungan sehingga belum optimal dalam pen- goperasian laboratorium yang dimiliki. Di Wamena, Bupati Kabupaten Jayawijaya, John Wem- pi Wetipo memerintahkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) segera membongkar gubuk-gubuk kecil yang dibangun oleh masyarakat di Baliem Cottage, pas- ca penggusuran beberapa waktu lalu. (*) Analisis Lingkungan, Januari 2015 PT Freeport Indonesia (PT FI) yang dikabarkan menun- juk mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Maroef Sjamsoeddin, sebagai presiden direktur yang baru menggantikan Rozik B. Soetjipto merupakan upaya pendekatan pengamanan asset kapitalis di Papua. Upaya ini bertujuan mendekatkan rentang komando militer dari daerah ke pusat demi menekan berbagai pengeluaran di bidang keamanan. Bukan lagi rahasia, kehadiran PT FI sejak 1967 di Papua merupakan anugrah bagi aparat ABRI saat itu tetapi merupakan bencana bagi Rakyat Papua. Berbagai kon- flik dimunculkan di wilayah sekitar penambangan, baik konflik vertikal maupun horizontal demi mendapat proyek pengamanan dari perusahaan yang terus menerus mengeruk isi bumi Papua ini. Kesadaran kritis masyarakat di sekitar wilayah per- tambangan yang tidak pernah muncul menumbuhsubur- kan kekerasan dan konflik yang meminta korban jiwa setiap saat. Riak protes dari masyarakat adat tidak berdampak terhadap proses operasi PT FI. Penggunaan kekuatan militer Indonesia sangat Pasca gagal memper- juangkan Otsus Plus di Jakarta pada 2013 lalu, Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe lalu memperjuangkan pembangunan smelter PT FI di Papua saat pemerintah merencanakan pembangunannya di Gresik, Jawa Timur karena berbagai pertimbangan. Anggota Komisi VII DPR, Tony Wardoyo juga ikut mendesak PT FI mendiri- kan smelter di Papua, bukan hanya smelter tetapi menurutnya, pemerintah juga harus membuat regulasi tentang pembangunan smelter tersebut. Berbagai upaya dilakukan demi „kenyamanan‟ PT FI dalam beroperasi padahal keuntungan yang diperoleh PT FI selama ini tidak sebanding dengan apa yang diberikan PT FI kepada masyarakat pemilik tanah yang diek- splorasi dan dieksploitasi sedemikian rupa. Sampai akhir Januari, belum ada keputusan dari Pemerintah Indonesia, di mana akan dibangun smelter PT FI ini. Pembangunan smelter bukan seperti membangun se- buah (rumah took) yang lagi trend di kota-kota besar di Papua. Dampak negatif akan lebih banyak dini- kmati masyarakat adat Papua sedangkan keuntungan terbesarnya tentu dinikmati perusahaan kapitalis ini. Hanya demi memenuhi ambisi politik, Gubernur memperjuangkan sesuatu yang akan manjadi masalah baru bagi masyarakat Papua. Selanjutnya adalah kehadiran PT. Nabire Baru, se- buah perusahaan pengelola kelapa sawit yang men- jadi masalah bagi masyarakat adat di Nabire. Seperti kisah perusahaan kelapa sawit lainnya di Tanah Pa- pua, proses masuknya persusahaan ini dengan cara- cara tidak patut dan sangat merugikan pemilik ulayat tanah. Tanda tangan atau cap jempol tetua adat mele- galkan beroperasinya perusahaan ini dengan meming- girkan masyarakat adat. Kondisi yang sama dialami masyarakat adat Papua di tempat lain yang wila- yahnya dimasuki perusahaan sawit. Pengamanan perusahaan dengan menggunakan aparat keamanan sangat meresahkan masyarakat. Demi ken- yamanan perusahaan, tidak tanggung-tanggung pihak aparat keamanan memberikan label separatis atau OPM kepada pemilik ulayat tanah untuk dapat me- nangkap dan menahan mereka. Pola pecah belah yang digunakan perusahaan sawit dalam memecah masyarakat adat masih sangat efektif karena uang menjadi tawaran menggiurkan tetua adat maupun kepala suku. Advokasi yang dilakukan berbagai lembaga ling- kungan tidak berarti apa-apa bila pada akhirnya masyarakat adat pemilik hak ulayat tanah „berkompromi‟ dengan pemilik perusahaan kelapa sawit. Belajar dari pengalaman, diperlukan strategi advokasi yang lebih kuat dimana masyarakat adat ha- rus lebih mengenal jati diri dan harga dirinya agar tidak mudah dibeli dengan uang. Berbagai gerakan penolakan kehadiran perusahaan sawit harus menjadi perlawanan bersama karena bila tidak, Papua hanya akan menjadi sejarah umat manu- sia. Persoalan lingkungan hampir merata di seluruh Tanah Papua. Tidak ada satupun wilayah yang bebas dari masalah lingkungan dan Freeport adalah masalah terbesar bagi Orang Papua. Terlepas dari apapun itu, lingkungan adalah masalah manusia di masa menda-

Pages Overview