Please activate JavaScript!
Please install Adobe Flash Player, click here for download

Edisi 2 2015

NEWSLETTER JERAT PAPUA Edisi I 2015 Hal. 4 tang. Ketidakseimbangan lingkungan akan menjadi bencana tersendiri bagi manusia. Banjir adalah contoh terdekat yang dapat dirasakan manusia modern. Di kota-kota besar di Papua yang telah mengalami banjir dan hal ini tentu tidak terjadi tanpa sebab. Pembabatan hutan lindung dan hutan- hutan penyangga yang digunakan untuk pemukiman karena arus imigrasi yang tak terbendung menjadi penyebab utama banjir ini. Semua yang terjadi dalam hidup manusia modern hari ini adalah hal yang saling terkait. Pihak yang paling diuntungkan dalam masalah ini adalah aparat kea- manan yang dalam mengamankan perusahaan juga dapat melakukan bisnis militer termasuk penjualan kayu-kayu hasil penebangan wilayah (clearing area) dijual berdasarkan kesepakatan-kesepakatan dengan pihak perusahaan. Bencana alam yang dialami manusia bukanlah semata kehendak Tuhan tetapi disebabkan ketamakan manu- sia lain menguasai bumi dan isinya. (Trand Analisis JERAT Papua) Pengantar, Emawa dan Owaada adalah sebuah nilai budaya yang telah ada sejak dahulu dan telah hidup dan berkembang bersama Masyarakat Adat Suku Mee/ Ekagi, sehingga nilai inilah yang telah diyakini menjadi sebuah nilai yang akan tetap dipertahan- kan bersama dengan upaya men- cari dan menemukan jati diri. Emawa dan Owaada Owaada adalah bahasa Suku Mee/ Ekagi di Papua yang artinya Pagar Rumah, Emawa sebagai rumah laki-laki, namun dalam kehidupan sehari masyarakat biasanya memahami lebih dalam yaitu Owaada se- bagai kebun bagi tanaman yang diyakini memunyai nilai khusus dalam budaya karena keberadaannya, sangat terkait dengan Tokoh dalam gerakan mesianis dalam Suku Mee/Ekagi. Disatu sisi Emawa dipahami sebagai sebuah rumah kebenaran,yang diartikan dengan: tempat ini adalah tempat pendidikan, tempat membangun relasi dengan sesama, dan tempat men- syukuri kehidupan dari Sang Pencipta atau yang disebut Ugatame. Kehadiran Gereja pada tahun 1938, telah membagi masyarakat ini menjadi dua kelompok yaitu Katolik dan Protestan, perbedaan ini makin diperlebar dengan kebiasaan hidup para penyiar agama serta pengaruh politik di Negeri Belanda. Hal ini juga disebabkan oleh Tokoh Gereja yang lulusannya Sekolah Teologi setingkat SLTP. Kesadaran akan pentingnya Persatuan mulai muncul sejak tahun 2005, me- lalui Musyawarah Pastoral, Ger- eja Katolik menggagas hidup menggereja dengan menggali kembali konsep Emawa dan Owaada, karena konsep ini juga diketahui dan diyakini oleh Masyarakat Adat Suku Mee yang beragama Protestan. Dewan Adat Paniai dalam Musyawarah Adat telah membuat keputusan adat dan diajukan ke Pemda. Sejak itu konsep budaya Emawa dan Owaada menjadi nilai yang diterima oleh kelompok masyarakat majemuk, sehingga mulai dibangun Ema- wa di Gereja- Gereja, sebagai symbol budaya, dan itu adalah Rumah Kebenaran dan Owaada sebagai Kebun Kehidupan, dengan nilai ini telah memunculkan se- buah kesadaran bahwa Masyarakat Adat Suku Mee/ Ekagi. Kesimpulan Konsep budaya Emawa dan Owaada telah menjadi Penyatu dengan dasar Suku Mee/Ekagi, mempunyai satu Tuhan yang dikenal Ugatame (Sang Pencipta) dalam perbedaan keyakinan sebagai orang yang beragama Katholik dan Protestan dan Perbedaan wilayah adat. *Penulis adalah Ketua Dewan Adat Paniai dan Aktivis Hak-Hak Masyarakat Adat. Oleh : John NR Gobai

Pages Overview