NEWSLETTER JERAT PAPUA Edisi II 2015 Hal. 9 Permasalahan yang menyangkut Freeport tidak hanya soal setoran ke negara, tapi juga ketenagakerjaan dan peran perusahaan terhadap kesejahteraan masyarakat Papua. Sejauh ini, hanya sebagian kecil karyawan Freeport yang berasal dari warga Papua. Hal itu diakui sendiri oleh petinggi Freeport Indonesia. Hanya sekitar 30 sampai 36 persen pekerja Freeport yang merupakan warga Papua dari sebanyak 31.000 pekerja. Rendahnya peran Freeport pada warga Papua pernah diutarakan oleh salah satu anggota DPR yang tergabung dalam tim pemantau otonomi khu- sus Aceh dan Papua, Irene Manibuy. Dia mengkritik peran Freeport hanya sebatas CSR saja. Irene mengatakan, saat ini masyarakat Papua tidak membutuhkan dana CSR dari Freeport . Papua bu- tuh memperoleh komposisi saham Freeport untuk pengelolaan. “Jangan kami hanya dikasih CSR Rp 1,3 triliun, jangan hanya CSR berdasarkan dividen 1 persen dari pendapatan kotor. Kami butuh share dan mengatur sendiri pembangunan di sana, daerah ka- mi,” ucap Irene beberapa waktu lalu. Di kesempatan lain, tokoh masyarakat Papua, Paskalis Kossay mengutarakan, ketidakmampuan masyarakat Pa- pua mengakses pasar membuat mereka tertinggal dan se- makin tersisih. “Sampai hari ini kehidupan masyarakat Papua bergantung pada subsistem, bukan dari pasar. Ka- rena itu mereka tertinggal dan tidak mampu bersaing dengan pasar yang semakin ketat,” ujarnya. Dia mengkritik kebiasaan pemerintah yang terlalu banyak membuat regulasi yang pada akhirnya terbukti tidak efek- tif dan bermanfaat dalam segi ekonomi. “Ada Otsus Plus, ada peraturan-peraturan lainnya, tetapi ternyata sebenarn- ya sudah terakomodasi di UU No 21/2001. Kalau konsis- ten kita enggak perlu cari sesuatu dan bikin semacam (UU) itu lagi.” Paskalis menyebut ketidakkonsistenan itu yang pada akhirnya membuat Papua masih tetap terbelakang. Karena pemerintah daerah dengan pemerintah pusat hanya saling melempar kesalahan akibat banyaknya regulasi. “Harus ada evaluasi. Sebenarnya UU Otsus 2001 sudah tepat. Kalau mau fokus pada kesejahteraan masyarakat (benahi) ekonomi Papua, itu kuncinya,” pungkas Paskalis. Jerry Omona (Merdeka/dari berbagai sumber) Dengan anggaran yang begitu be- sar di tengah gegab gempita za- man Otonomi Khusus di Papua seperti ini, pemerintah harus fokus membiayai pembangunan, pendidikan, kesehatan dan perekonomian yang lebih memihak orang asli Papua. Walau sebagian besar telah dilakukan, masih saja wajah pen- didikan di Papua terus meninggalkan sebuah paradoks yang memilukan hati setiap generasi Papua sebagai pemuda, pelajar dan mahasiswa penerus kelang- sungan hidup negeri ini. Seperti yang dialami oleh puluhan anak-anak Papua yang masih usia produktif. Lari dari sekolah, cuti dari kampus hanya untuk bekerja sebagai tenaga pengangkut kayu di hutan di Kecamatan Kota Waisai, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Bekerja dengan modal semangat dan otot, sebagai tenaga pengangkut kayu yang dibayar dengan upah mu- rah. Namun bagi mereka adalah ber- kat yang cukup memberikan mereka harapan untuk terus bertahan di tengah peliknya kehidupan, terlebih untuk men- jaga mimpi meraih pendidikan setinggi mungkin dikemudian hari. Hal itu diungkapkan oleh Derek Asmuruf, seorang pekerja pengangkut kayu, dilo- kasi Waiwo Raja Ampat, pemuda asal Kota Sorong yang